-->

Kamis, 22 September 2016

Perang Mu'tah, Benturan Peradaban Pertama Islam dan Romawi


Ilustrasi

Perang Mu’tah merupakan salah satu perang paling penting dalam sejarah Islam. Perang tersebut terjadi pada bulan Jumadil Ula (Jumadil Awal) tahun 8 Hijriyah (September 629 M).[i] Perang ini merupakan babak awal konflik atau benturan (the clash) antara Peradaban Islam dengan Imperium Romawi Bizantium. Konflik yang dimaksud di sini sebagaimana pendekatan ilmu teori konflik dalam Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement (Pruitt & Rubin, 1986), ialah persepsi mengenai perbedaan kepentingan.[ii] 

Perbedaan kepentingan antara Daulah Islam dan Romawi Bizantium berasal dari keinginan Bizantium (Romawi) mempertahankan hegemoni agama dan kekuasaannya di Syam dan Arab Utara. Karena di saat yang sama “peradaban baru” Daulah Islam di Madinah sedang berkembang pesat, menggeliat memperlihatkan kekuatan dan ekspansi dakwahnya yang lambat laun disambut sesama bangsa Arab. Situasi krisis ini terjadi di masa perjanjian Hudaibiyah antara Daulah Islam dan Quraisy Makkah. 

Oleh karena terjadi ‘gencatan senjata’ antara pihak Islam dan Quraisy, penyebaran dakwah Islam fokus ke arah utara Madinah bukan ke selatan, di mana ada Makkah serta sekutunya di sana. Keputusan Madinah untuk ekspansi dakwah ke Utara bukan tanpa resiko, karena keputusan tersebut berarti Islam siap bersinggungan langsung dengan Romawi yang secara matematis jauh lebih kuat dari Makkah. 

Sejarah membuktikan di kemudian hari gesekan besar antara negara adidaya (Romawi) dan calon adidaya (Islam) tersebut justru menjadi lebih ‘ramai’ daripada ketegangan antara Madinah dengan Makkah sebelumnya. Hal tersebut bisa dipahami karena Madinah dan Makkah sekalipun saat itu berbeda aqidah namun keduanya masih sesama bangsa Arab. Sedangkan Madinah dan Romawi sudah berbeda aqidah, juga berbeda kebangsaannya. Benturan peradaban (the clash of civilization) menemukan bentuknya yang sempurna dalam konflik Madinah (Islam) dan Romawi Bizantium (Kristen). 

Benturan peradaban itu dikenal dengan perang Mu’tah karena terjadinya di desa Mu’tah, yang sekarang terletak di Provinsi Karak sebelah Barat Daya kota Amman, Yordania. Pada saat itu wilayah Mu’tah berjarak dua hari perjalanan dari Baitul Maqdis. Peperangan ini termasuk peperangan terdahsyat saat Daulah Islam masih dipimpin Rasulullah SAW mengingat jumlah lawan yang sangat besar yakni 200.000 pasukan koalisi Romawi-Arab. Suku Arab yang masuk di bawah naungan Romawi Bizantium ialah Ghassan, atau kadang kala disebut Ghassanid. Mereka merupakan suku Arab yang sangat loyal dengan Romawi. Selain Ghassan, kabilah arab lainnya yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Lakhm, Judzam dan Khuza'ah (Bahra, Baliy dan Balqin) yang semuanya eksis di bawah Kekaisaran Heraclius. 

Jumlah pasukan koalisi 200.000 tersebut terdiri dari 100.000 pasukan Romawi dan 100.000 loyalis dari Arab. Ketika itu jumlah pasukan Islam hanya 3000 orang. Umumnya bangsa Arab yang loyalis Romawi tersebut ialah mereka yang beragama Nasrani dan tinggal di Utara Jazirah Arab yang berbatasan langsung dengan wilayah Imperium Romawi.[iii] Selain beragama yang sama dengan Romawi, mereka juga bisa mendapat keuntungan tersendiri disebabkan loyalitasnya pada Kekaisaran Romawi yang merupakan negara adidaya di zaman itu.

Perang Mu’tah ditinjau dari segi kuantitas pasukan sangatlah tidak seimbang. Perang itu dipicu oleh pembunuhan utusan Rasulullah Muhammad SAW, Al-Haritsah bin Umair Al-Azdi, Al-Haritsah dikirim untuk menemui penguasa Bashra yang juga termasuk dalam Imperium Romawi. Al-Haritsah bin Umair ditangkap ketika dalam perjalanan oleh tokoh Arab loyalis Romawi bernama Syurhabil bin Amr Al-Ghassani, pemimpin Al-Balaqa’ yang termasuk dalam wilayah Syam (juga masuk Imperium Romawi). Al Haritsah kemudian diikat dan dibunuh di hadapan Kaisar Heraclius. Membunuh utusan resmi adalah sinyal pertikaian yang sangat serius.

Dari pendekatan psikologi sosial, adalah keinginan Romawi untuk ‘menghukum’ Madinah karena utusan Madinah telah berani berdakwah di area kekuasaannya[iv]. Pihak Romawi melalui Syurhabil bin Amr sangat ingin memperlihatkan kekuasaan mereka bahwa siapa saja yang mengganggu Romawi maka “beginilah jadinya”, yakni dibunuh. Telah menjadi hukum internasional bahwa membunuh utusan suatu negeri sama dengan mengajak perang secara terbuka. Pembunuhan utusan tersebut juga memiliki makna bahwa dakwah Islam jelas dilarang di area kekuasaan Romawi. “Keinginan untuk menghukum” hingga melakukan agresi terhadap pihak Madinah dengan tujuan untuk menyakiti. Penyebabnya adalah dari pengalaman-pengalaman yang dianggap aversif (tidak menyenangkan). Niat baik dakwah Islam oleh Romawi dan sekutunya telah dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan. 

Rasulullah SAW sebagai kepala negara Daulah Islam Madinah begitu marah atas pelecehan yang dilakukan oleh Romawi. Rasulullah SAW langsung mengirimkan pasukan untuk berperang melawan Romawi dan sekutunya yang secara simbolis telah melecehkan kehormatan kaum Muslimin. Perang adalah jalan terakhir untuk menundukkan sekaligus menghukum musuh, demi menjaga kehormatan Islam.

Menarik di sini jika mengingat Teori Konflik Sosiologi tipe Lewis Coser, bahwa peristiwa ini bisa masuk dalam kategori “konflik realistis”. Hal tersebut disebabkan karena pihak Madinah merasakan kekecewaan dan kemarahan terhadap Romawi yang melalui tangan sekutunya membunuh utusan kaum Muslimin. Sehingga secara langsung hal tersebut membuat dinamika hubungan Islam dan Romawi bergesekan dengan ‘percikan api peperangan.’ Meskipun dien dan ideologi Romawi saat itu berbeda dengan Daulah Islam, namun jelas penyebab perang Mu’tah yang masyhur adalah pembunuhan utusan kaum Muslimin oleh Romawi. 

Pertimbangan lain dari sejarawan Prof. Akram Dhiya Al-Umari dalam kitab Shahih Sirah Nabawiyah, penyebab sesungguhnya perang Mu’tah ialah dampak dari syariat jihad yang mengharuskan umat Islam menundukan tiap-tiap kabilah Arab dan memperluas wilayah Daulah Islam tanpa harus melihat faktor-faktor penyebab langsungnya. “Oleh karena itu menjadi suatu keharusan menundukkan negara-negara Arab kecil berbasis Narani dan berpihak pada Romawi. Di samping itu Romawi sendiri sudah lebih dulu bergerak ke wilayah tersebut sebelum berhadapan dengan Daulah Islam yang masih muda.”[v]

(bersambung)   

Ilham Martasyabana, 

Pegiat The Site of Study for Sirah Nabawiyah and Islamic Civilization 

Endnote:

[i] Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (Rahiqul Makhtum), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010. Bab Perang Mu’tah. Lihat juga bab “Perang Mu’tah” dalam Al-Waqidi, Kitab Al-Maghazi Muhammad, Jakarta: Ufuk Press; Sirah Ibnu Hisyam, Jakarta: Darul Falah, 2009; dan Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah (Fiqih Sirah), Jakarta: Rabbani Press, 2015.

[ii] Dean Pruitt dan Jeffrey Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 2.

[iii] Akram Dhiya’ Al-Umari, Shahih Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010, sub-bab Perang mu’tah h. 490-495

[iv] Dean Pruitt dan Jeffrey Rubin, Op. Cit, bab. VI dalam “Tiga Model Konflik” mengenai Perubahan Psikologis

[v] Akram Dhiya’ Al-Umari, Op. Cit, h. 490.
Sourche: suaraislam.com




Baca Artikel Terkait: