-->

Rabu, 28 Desember 2022



1. Pengertian istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti memandang baik sesuatu, sesuatu yang digemari dan disenangi manusia. Menurut istilah terdapat beberapa rumusan dari para ulama:
a. Menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas jail kepada tuntunan qiyas khafi, atau dari hukum kully kepada hukum istitsana’I berdasarkan dalil.
b. Menurut al-Bazdawi, istihsan ialah perpindahan dari tuntunan suatu qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat atau men-takhsih qiyas dengan dalil yang lebih kuat.
c. Imam Malik mendefinisikan isthsan adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan dalil kulli.
Istihsan merupakan dalil yang diperselisihkan di antara para ulama. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Mereka memperkuat penggunaan istihsan dengan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun hasil penelitian terhadap nash. Namun mereka berbeda-beda dalam penetapan istihsan dalam hirarki sumber / dalil hukum Islam dan intensitas penggunaannya. Ulama yang terkenal banyak menggunakan dalil istihsan diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Bahkan Imam Malik pernah mengatakan bahwa istihsan Sembilan per sepuluhnya ilmu. Namun demikian, mereka berbeda dalam membagi istihsan. Ulama Malikiyah membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan urf, istihsan dengan maslahat, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan kaidah raf’ al-haraj wa al-masyaqqat. Sedangkan istihsan dengan qiyas kahfi tidak dikenal dalam Ushul Fiqih Maliki. Sedang Imam Hanafi membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan nash, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan darurat dan istihsan dengan qiyas kahfi, walaupun dalam perkembangannya ulama Hanafiyah juga menggunakan istihsan maslahat dan urf.
Di antara ulama yang menolak istihsan sebagai dalil adalah ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, Syi’ah dan Mu’tazilah. Bahkan al-Imam al-Syafi’I menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi istihsan:
a. Syari’at itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash dan bukan pula qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas dan ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang artinya “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban).”
b. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh menaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan tidak termasuk kitab dan sunnah dan juga tidak menunjukkan Al-Qur’an dan Sunnah.
c. Nabi SAW. tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai kasus beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan menunggu wahyu.
d. Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari Nabi.
e. Istihsan itu tidak menjadi kriteria dan tolak ukur untuk membedakan yang hak dan yang batil sebagaimana qiyas.
f. Jika istihsan diperbolehkan, padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada nash, berarti ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak dibenarkan.
Muhammad Abu Zahrah seperti dikutip Nasrun Haroen, berpendapat bahwa penolakan Imam Syafi’I terhadap istihsan tidak bersifat menyeluruh. Penolakan itu menurutnya hanya berlaku pada istihsan yang disebarkan pada urf dan maslalaha mursalah. Ini sejalan dengan prinsip ulama Syafi’iyah yang menolak eksistensi urf dan maslalah mursalah sebagai dalil.


2. Dasar-Dasar Isihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. antara lain:
a. Dasarnya dalam Al-Qur’an:
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
b. Dasarnya dalam Hadist:
Artinya “Anas RA, berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, “Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadahmu adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.”” (HR. Ibnu Abdul Barr).


3. Pembagian Istihsan
a. Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
1) Mendahulukan qiyas kahfi dari qiyas jail karena ada alasan yang dibenarkan syara’.
2) Mengecualikan hukum juz’I dari hukum kully dengan dalil.
b. Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu:
1) Istihsan berdasarkan nash, yaitu adanya ayat atau hadist tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
2) Istihsan bi al-Ijma’ ialah meninggalkannya qiyas dalam suatau masalah berdasarkan ijma’ yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas.
3) Istihsan berdasarkan qiyas khafi.
4) Istihsan bi al-Maslahah ialah istihsan berdasarkan maslahah.
5) Istihsan bi al-‘adah au al-urf ialah istihsan berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum.
6) Istihsan bi al-Darurah ialah ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seseorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas.
4. Perbedaan Istihsan dengan Qiyas dan Maslahah Mursalah
Istihsan berbeda dengan qiyas dan juga maslahah mursalah. Perbedaan istihsan denag qiyas menyamakan kasus yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’ dengan kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’. Istihsan adalah perpindahan dari kasus yang didasarkan pada dalil kepada kasus lain berdasarkan dalil yang lebih kuat, seperti berpindah dari nash umum atau qiyas kepada nash khusus, atau kepada qiyas kahfi krena adanya kemaslahatan yang hendak direalisasikan atau mafsadah (kerusakan) yang ingin dihindarkan. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama didasarkan pada dalil. Sedang maslahah mursalah adalah penetapan hukum yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan mewujudkan kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan, serta tidak memiliki dasar nash.




Baca Artikel Terkait: