-->

Rabu, 28 Desember 2022

Maslahah Mursalah
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Salah satu metode yang dikembangkan ulama Ushul Fiqih dalam mengistinbathkan hukum Islam dari nash adalah maslahah mursalah. Penggunaan maslahah mursalah seagai hujjah didasarkan pada pandangan tentang adanya illat dalam suatu hukum.
Menurut bahasa, maslahah berarti manfa’at dan kebaikan, sedang mursalah berarti melepas. Menurut istilah maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ dalam peneapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya. Pada umumnya maslahah mempunyai dua sisi, yaitu sisi positif (ijabi) dan sisi negative (salabi). Sisi positif berupa merealisasikan kebaikan (ijad al-manfa’ah). Sedang sisi negative menolak kerusakan atau bahaya (daf’ al-mafsadah).


2. Kehujjahana Maslahah Mursalah
Sebagai hujjah, maslahah diperselisihkan para ulama. Dalam masalah ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Menurut Jumhur ulama maslahah mursalah tidak dapat dijadikan dalil/hujjah. Mereka mengemukakan beberapa argument, yaitu:
1) Allah telah mensyari’atkan untuk para hamba hukum-hukum yang memenuhi tuntunan kemaslahatan mereka Ia tidak luoa dan tidak meninggalkan satu kemaslahatan pun, tanpa mengundangkannya. Berpedoman pada maslahah mursalah berarti menganggap Allah meninggalkan sebagian kemaslahatan hamba-Nya, dan ini bertentangan dengan nash.
2) Maslahah mursalah itu berada di antara maslahah mu’tabarah dan maslahah mulghah, di mana menyamaknnya dengan maslahah mu’tabarah belum tentu lebih sesuai dari pada menyamaknnya dengan maslahah mulghah, karenanya tidak pantas dijadikan hujjah.
3) Berhujjah dengan maslahah mursalah dapat mendorong orang-orang tidak berilmu untuk membuat hukum berdasarkan hawa nafsu dan membela kepentingan penguasa.
b. Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Haramain. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:
1) Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan mslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyari’atannya.
2) Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat, keadaan, dan zaman. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabadikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syari’at.
3) Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banya melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.
c. Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuruiyah. Sedangkan maslahah hijaiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.


3. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan dijadikan sebagai dalil dengansyarat:
a. Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau diasumsikan.
b. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pibadi atau kemaslahatan khusus.
c. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al-Syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
d. Kemaslahatn tersebut harus selaras dan sejalan dengan akal sehat. Artinya kemaslahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal sehat.
e. Pengambilan kemaslahatan tersebut harus untuk merealisasikan kemaslahatan dharuriyah, bukan kemaslahatan hijaiyah atau tahsiniyah.


4. Pembagian Maslahah
a. Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh Syari’ (Allah) dan dijadikan dasar dalam pencapaian hukum.
2) Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh Syari’ (Allah), dan Syari’ menetapkan kemaslahatan lain selain ini.
3) Maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang belum diakomodir dalam nash atau ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan (dibiarkan) oleh Syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya.
b. Berdasarkan tingkatannya, maslahah mursalah dapat dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu:
1) Maslahah dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Pengabaian terhadap maslahah dharuriyah dapat berakibat pada terganggunya kehidupan dunia, hilangnya kenikmatan dan turunnya azab di akhirat.
2) Maslahah hijaiyah, yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian terhadap maslahah hijaiyah tidak menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
3) Maslahah tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang ada pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalat. Misalnya mengenakan pakaian-pakaian yang bagus-bagus saat shalat, memakai wewangian pada laki-laki ketika berkumpul bersama orang banyak, pengharaman makanan-makanan yang buruk atau menjijikan, larangan wanita menikahkan dirinya sendiri kepada laki-laki yang dicintainya dan lain-lain.
c. Pembagian maslahah dari segi syara’.
1) Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ (Allah) dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan, kemaslahatannya yaitu mendidik jasmani dan rohani manusia.
2) Maslahah mulghah, yaitu maslahah yang ditolak Allah namun juga menetapkan kemaslahahtan selain itu. Misalnya diharamkannya mencuri namun tetap ada kemaslahahtan bagi seorang pencuri.
3) Maslahah mursalah, yaitu kemaslahahtan yang belum ditetapkan dalam nash dan ijma’ serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemashlahatan ini dibiarkan oleh syari’ dan diserahkan oleh manusia untuk menentukan mengambil atau meninggalaknnya dengan melihat kemashlahatan yang sesuai dengan dirinya ,Misalnya menjatuhkan talak dalam perkawinan.




Baca Artikel Terkait: