-->

Rabu, 28 Desember 2022

1. Pengertian Urf

Menurut bahasa, Urf berarti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadikan kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.[1] Sebagian ushuliyyin, seperti al-Nasafi dari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin, al-Rahawi dalam Syarh kitab al-Mannar dan Ibnu Nujaim dari kitab al-Asyibah wa al-Nazha’ir berpendapat bahwa urf sama dengan adat. Tidak ada perbedaan diantara keduanya. Namun, sebagian ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Badzawi membedakan antara adat dan urf dalam membahas kedudukannya salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan urf ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas dibanding urf,tetapi tidak sebaliknya. Kebisaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut urf. Tetapi dari sisi yang lain, urf lebih umum dibanding adat, sebab adat hanya mencakup perbuatan, sedang urf mencakup perbuatan serta ucapan sekaligus.
2. Pembagian Urf
a. Dilihat dari segi objeknya, urf dibagi dua, yaitu urf lafzhi dan urf amali.
1) Urf lafzhi qauli ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlindas di pikiran masyarakat. Seperti kebiasaan masyarakat Arab menggunakan kata “walad” untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian juga kebiasaan mereka menggunakan kata “lahm” untuk daging binatang darat, padahal Al-qur’an menggunakan kata itu untuk semua jenis daging, termasuk daging ikan[2].
2) Urf amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperadaban. Seperti kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa akad (bai’ al-ta’athi), kebiasaan sewa kamar tanpa dibatasi waktu dan juq
3) mlah air yang digunakan, kebiasaan sewa menyewa perabot rumah, penyajian hidangan bagi tamu untuk dimakan, dan lain-lain.
b. Dari segi cakupnya urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf khash.
1) Urf amm ialah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, dongkrak dan ban serepntermasuk dalam harga jual, tanpa akad tersendiri dan biaya tambahan.
2) Urf khas ialah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, seperti kebiasaan masyarakat Jawa merayakan lebaran ketupat, sakatenan, atau kebiasaan masyarakat Bengkulu merayakan tabot pada bulan Muharram. Dan menurut Mustafa Ahmad Zarqa seperti dikutip Haroen, bahwa urf khas ini tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai situasi dan kondisi masyarakat.[3]
c. Dilihat dari segi diterima atau tidaknya urf dibagi dua yaitu:
1) Urf Sahih ialah urf yang tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’ dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum akad nikah atau kebiasaan masyarakat bersalaman denagan teman sesame jenis kelamin kala bertemu.
2) Urf Fasid ialah urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Misalnya seperti kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang sahih harus dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian dari hukum Islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan karena bertentangan dengan dalil dan semangat hukum Islam dalam membina masyarakat.






3) Legalitas Al-‘Urf
Jumhur Fuqaha’ mengatakan bahwa Al-‘Urf merupakan hujjah dan diangggap sebagai salah satu sumber hukum syari’at. Mereka bersandar pada dalil-dalil sebagai berikut:
a. Firman Allah
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf”. (QS. Al-A’raf (7): 199).
Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat, sebab jika tidak wajib pastilah Allah tidak akan menyuruh Rasulullah.
b. Hadist Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka ia juga baik disisi Allah”. Hadist ini menunjukkan bahwa setiap yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik disisi Allah dan jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran hukum.
c. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad salam dan memajukan denda kepada pembunuh yang tisdak disengaja. Selain itu, Islam juga tidak membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta warisan. Semua ini adalah bukti nyata bahwa syariat Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.[4]
d. Syariat Islam memili prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudhkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan sesuatu yang sudah mejnjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka kedalam jurang kesulitan. Agar mereka tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus mengakui adat kebiasaan mereka sebagai mana firman Allah:
“Dan Dia sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj (22): 78).






4) Syarat-syarat Urf
Oleh karena itu urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, melainkan tergantung oleh dalil asli hukum syara’, maka ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi penggunaan urf tersebut, yaitu:
a. Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasan masyarakat. Maksudnya kebiasaan sejumlah orang tertentu dalam masyarakat tidak dikatakan urf. Adanya sejumlah lain yang tidak melakukan kebiasaan itu menunjukkan adanya pertentangan di dalam masyarakat itu sendiri dalam memandang kebiasaan masyarakat tersebut. Jika demikian, berarti kebaikan dari kemaslahatan itu hanya diterima oleh sebagian masyarakat, sedang sebagian yang lain menolaknya. Karena, urf semacam ini belum dapat dijadikan hujjah.
b. Urf tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada urf tersebut ditetapkan. Jika urf telah berubah, maka hukum tidak dapat dibangun di atas urf tersebut.
c. Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Misalnya kalau dua orang membuat kontrak, dan didalam kontraknya itu dia sepakat untuk tidak menggunakan urf tetapi menggunakan hukum lain yang disepakatinya, maka urf dalam hal lain tidak mengikat pihak-pihak tersebut.
d. Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsipbumum syariat.[5]
5) Urf dalam Penerapan Hukum
Disamping memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum urf juga memiliki kedudukan penting dalam menerapkan suatu hukum. Sebagaimana diketahui hukum Islam memiliki dua sisi, yaitu sisi penetapan (istinbath) dan sisi penerapan (tathbiq). Keduanya bisa berjalan paralel juga bisa, bisa juga tidak.
Misalnya dalam surah At-Thalaq ayat (2) Allah menegaskan persyaratan saksi adalah orang yang memiliki sikap adil. Secara penetapan ayat tersebut sudah jelas dan tidak meninmbulkan masalah. Orang yang adil adalah orang yang padanya melekat sikap taqwa dan mura’ah. Orang yang tidak memiliki ketaqwaan dan tidak menjaga mura’ah bukanlah orang yang adil. Namun dalam penerapannya, ukuran orang yang menjaga muru’ah itu berbeda beda sesuai perbedaan waktu dan tempat. tidak menutup kepala misalnya, disatu tempat dipandang menghilakan mura’ah, tetapi ditempat yang lain tidak. Demikian juga kewajiban suami memberi nafkah istri secara ma’ruf yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat (233), ukuran ma’ruf disini berbeda beda sesuai kemampuan suami, sebab tidak ada nas yang menjeklaskan berapa kadar nafkah yang ma’ruf itu. Segala sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan Allah tidak menjelaskan kadarnya, maka ukurannya dikembalikan kepada urf, seperti ukuran besarnya mahar.


6) Perubahan Hukum karena Perubahan Urf
Diantara hukum Islam terdapat hukum yang disyariatkan berdasarka urf tertentu. Hukum-hukum yang demikian dapat berubah manakala urf yant menjadi dasar penetapan hukum tersebut berubah. Misalnya kebiasaan pesta ulang tahun yang diselenggarakan oleh kalangan tertentu dengan dansa dan minuman keras adalah haram hukunya. Tetapi jika perayaan ulang tahun dilakukan untuk mensyukuri kelahirannya dan sebagai manifestasi rasa hormat kepada orang tua yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkannya, maka hukumnya boleh. Demikian juga kebiasaan orang jahiliyah yang melakukan ziarah kubur dengan melakukan kesyirikan didalamnya, dilarang oleh Rasulullah. Tetapi, ketika tradisi tersebut berubah menjadi sarana mendoakan orang yang sudah meniggal dan mengingatkan peziarah pada kematian, maka dibolehkan. [6]
7) Qaidah-Qaidah yang Berkaitan dengan ‘Urf
a. Adat itu dapat dijadikan hukum
b. Apa yang biasa diperbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib diamalkan
c. Adat yang diperhitungkan hanyalah adat yang biasa berlaku atau dominan berlaku
d. Adat yang diperhitungkan adalah adat yang dominan, bukan yang jarang
e. Hakikat itu dapat ditinggalkan dengan petunjuk adat
f. Tulisan itu seperti ucapan
g. Isyarat orang bisu yang dapat dipahami itu seperti keterangan lisan
h. Yang dianggap baik oleh adat itu seperti sesuatu yang disyaratkan
i. Penentuan sesuatu berdasarkan ‘urf itu seperi penentuan dengan nash
j. Sesuatu yang dipersyaratkan diantara para pedagang itu sama dengan sesuatu yang dipersyaratkan diantara mereka
k. Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum disebabkan perubahan masa [7]




Baca Artikel Terkait: